Jika mendengar kata jamu, sebagian orang langsung teringat pada ramuan herbal tradisional yang disajikan dalam gelas kaca atau botol cokelat. Namun, tahukah Anda bahwa istilah jamu sendiri memiliki makna yang cukup dalam? Kata “djamoe” berasal dari gabungan dua kata Jawa Kuno, yaitu djampi yang berarti doa atau obat, serta oesodo (husada) yang berarti kesehatan. Dengan kata lain, jamu dapat dimaknai sebagai doa sekaligus obat untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan.
Sejarah mencatat, sejak abad ke-17, jamu sudah menjadi perhatian dunia. Para dokter berkebangsaan Belanda, Inggris, hingga Jerman yang berada di Hindia Belanda kala itu tertarik mempelajari ramuan herbal khas Jawa. Salah satunya adalah dr. Carl Waitz yang pada tahun 1829 menuliskan pengamatannya dalam buku berjudul Practical Observations on a Number of Javanese Medications. Hal ini menunjukkan bahwa jamu bukan sekadar tradisi turun-temurun, melainkan juga memiliki nilai ilmiah yang layak dikaji.
Menurut Permenkes No.003/Menkes/Per/I/2010, jamu dikategorikan sebagai obat tradisional yang tersusun dari bahan alami, baik berupa tumbuhan, hewan, maupun mineral. Bentuk penyajiannya pun beragam: mulai dari serbuk, rajangan, cairan untuk diminum, hingga kapsul modern. Meski dikemas dalam bentuk yang berbeda-beda, tujuannya tetap sama—memberikan manfaat kesehatan secara alami.
Sayangnya, popularitas jamu di negeri sendiri sempat mengalami penurunan, terutama di tengah gempuran minuman modern. Menyadari pentingnya pelestarian kearifan lokal ini, pemerintah kemudian mengambil langkah konkret. Pada 27 Mei 2008, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meresmikan tanggal tersebut sebagai Hari Kebangkitan Jamu Indonesia. Bahkan, melalui penambahan pasal khusus dalam UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, jamu secara resmi diakui sebagai bagian dari pengobatan dan perawatan herbal di Indonesia.
Kini, jamu tidak hanya dipandang sebagai ramuan tradisional semata, tetapi juga sebagai identitas budaya yang perlu dijaga dan dikembangkan. Kehadirannya dalam bentuk inovatif—seperti jamu instan, jamu kemasan modern, hingga café jamu kekinian—membuktikan bahwa warisan ini mampu beradaptasi tanpa kehilangan esensi.